Selasa, 29 Desember 2009

uforia trompet

UFORIA TEROMPET
Oleh: Pu Hadikusumo

Beberapa hari si seluruh dunia akan merayakan pesta besar-besaran. Sebuah waktu perpindahan tahun, adakah moment yang berharga lebih selain ini? Tetapi apa perlu dirayakan? Jawabnya ya tergantung manusianya.
Begini, sedikit berkhayal yank karena saya suka sekali khayalan. Dari perbedaan yang muncul di alam mini, semuanya tahu andai jam, menit, detik di seluruh permukaan bumi ini sama, kira-kira apa jadinya kalau pada pukul 00.00 atau (24.00), seluruh manusia yang ikut pesta pergantian tahun bersama-sama meniup terompetnya? Ketakutan khayali saya bisa-bisa akan melengserkan jabatan Isrofil Si Peniup terompet,dan mungkin dapat menyaingi kedahysatan film 2012.
Betapa indah dan menakjubkan perbedaan itu. Sangat mengaharukan pula jika perbedaan dapat di satu rumahkan atau dalam arti menekankan penilaian yang obyektif tidak subyektif yang condong akan ke-aku-an (ego). Tetapi hal seperti itu sangat-sangat sulit apalagi, seperti saya ini yang tergolong awam dan dangkal pengetahuannya tentang subyektif dan obyektif, lebih-lebih soal ke-aku-an yang katanya mendekati egoisme dan egosntrisme terhadap cara pandang soal perbedaan. “Orang boleh beda pendapat tapi tidak boleh sama pendapatannya” kata teman saya suatu ketika. Dan menjadi bahan renungan saya sampai saat ini.
Beruntung sekali kita hidup di dunia, di bum ini. Dimana-mana bertebaran perbedaan sebagai ranah untuk memecah batu otak dan batu hati dalam diri kita. Supaya memahami sekian banyak perbedaan di permukaan bumi ini. Tetapi tetap selaras dan seimbang alam kosmis ini. Salah satu contohnya adalah perbedaan siang dan malam dimana dapat diketahui ada terang dan gelap sekaligus sebagai pertanda perubahan waktu, sehingga dengan kreatifitasnya, manusia mampu menciptakan penanda waktu: jam sebagai ukuran waktu dalam sehari semalam. Kedua dalam geografi ditemukannya garis lintang dan garis bujur untuk mengukur selisih waktu antar wilayah. Dan begitulah Allah SWT memberikan “perbedaan” kepada alam agar di cerna para penghuninya. Tetapi kita harus bersyukur lagi, dan lagi, perbedaan yang diberikan pencipta kepada penghuni alam meskipun, apapun, dan bagaimanapun tingkah polah penghuni alam itu.
Kembali pada perbedaan dan terompet, dan agenda besar yang sudah I rancang oleh para kawula-kawula muda tentunya, dengan gejolak mudanya sudah tentu akan melewati pergantian tahun dengan sebuah pesta atau semacamnya. Namun ternyata tidak kawula muda saja, kalangan tua, anak-anak juga terhipnotis untuk berpartisipasi, tidak mau ketinggalan dalam moment akbar itu. Lha maklum, adanya cuman sekali setahun, kan wajar to kalu ikut-ikutan, melepaskan tahun lalu dan menyambut tahun baru 2010.
Memang sepertinya ada semacam undangan tidak tertulis yang di sebarkan di otak setiap manusia untuk menghadiri pesta tahun baru. Semuanya dicicil persiapannya ; uang di tabung, hotel di booking dan sampai menu apa yang mengiringi perpisahan akhir tahun. Betapa sukarianya.

Pesta terompet.
Kira-kira awal bulan lalu tetangga saya sudah mempersiapkan beberapa bahan untuk membuat terompet, “katanya lumayan Pak penghasilannya, walaupun hanya setahun sekali,” bagi saya maklum pekerjaan tetangga saya pedagang kaki lima. Kadang sedikit saya merasa geli, ketika menerima tawaran tetangga saya, begini “Bapak juga mau?, kesempatan, untungnya besar lho Pak?, begitu polos dan jujurnya tetangga saya itu. Kontan saja saya jawab ”sebenarnya saya mau Pak, berhubung status pekerjaan saya sebagai pengajar, saya malu, kan gengsi masak ada guru jualan terompet”. Alasan saya waktu itu. Tapi setelah beberapa hari saya piker cukup menarik, gaji guru berapa sih.
Pada tanggal 31 nanti suasana tahun baru begitu terasa auranya, dijalan-jalan raya semakin banyak berjejer penjual terompet. Harganya juga muacem-muacem dong tergantung statusnya pula, kan terlihat dalem kagak kantongn itu. Itulah bazaar terompet terbesar, aneka warna dab jenusnya sangat memikat sekali. Ada yang ditiup, ada yang pakai angin alias tak perlu ditiup, pastinya setelah tahun baruan mulutnya tidak meniren. Bahkan yang paling murah adalah membunyikan klakson kendaraan asal tidak rusak saja.
Ritual Terompet
Keponakan saya yang masih duduk di sekolah dasar setelah bangun dari tidur serta merta merengek minta “Om, nanti pulang sekolah beli terompet ya”. Kaget sekali juga mendengar atas permintaan keponakan saya, karena dimanapun tanggal tua adalah pacekliknya pegawai-pegawai, namun saya sedikit tenang ada simpanan sedikit. Tetapi yang menjadi tanda tanya adalah sebab apa keponakan saya itu yang baru melek, belum pipis dan belum cuci muka, bahkan masih diatas kasur sudah minta dibelikan terompet. Inilah suatu fenomena yang ironis sekali. Kadang juga bingung, bisa begitu dahsyat efek dari perayaan tahun baru.
Akhir dan awal tahun yang dipenuhi warna. Pesta kembang api, meriah dimana-mana, mengiringi awal tahun dan melempar jauh-jauh tahun lama. Sirine di bunyikan tepat pukul 00.00 (24.00), kemudian mulailah genderang kemeriahan awal tahun. Sesuatu yang janmo tanpo kiniro, ramai dan riuhnya. Menakjubkan. Katakan inilah surprise kita untuk melepas lelah dari belenggu masalalu atau kata Rendra dalam Sajak Seorang Tua Untuk Istrinya “lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna….melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda. Dan kuranglah pula bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita…”
Gemuruhnya tahun baru membuat saya sedikit kena migren. Habis gimana, dimana-mana ada pesta dan sedikit-sedikit suara terompet mengiang di telinga, tet, tet, tet. Memang saya tidak bisa menyalahkan dengan serta-merta karena saya sadar betul, coro Jawanya “sekabehane tumindhak kudu di wiwiti soko prentuling ati (niyat)”. Dan itu jelas merayakan pesta tahun baru dengan tet, tet, tetnya itu sudah di niati. Itulah kebebasan kretifitas.
Sejauh ini ada yang perlu diputar ulang dalam rekaman otak saya, apakah dengan berpesta dan meniup terompet akan mengubah diri kita dalam 365 mendatang (1 tahun)?, bukankah saat itu adalah saatnya memikirkan diri kita di muka bumi ini. Mengaca apa saja yang di karuniakan Sang Pencipta secara cuma-cuma ini kepada kita, sudah di fungsikan secara pas atau malah sedikit terlena oleh beberapa hal yang semakin memupuk kesombongan dalam hati kita. Dan saya harus tetap minum obat sakit kepala sesekali tersenyum karena suatu senyuman adalah ibadah, terhadap fenomena terompet di tahun baru.
Semoga senyum saya tidak seperti sajak Rendra “kita tersenyum bukanlah bersandiwara. Bukan karena senyuman adalah suatu kedok.. Tetapi saya ingin tersenyum- karena senyuman adalah suatu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, nasib dan kehidupan”. Dan yakin marang samubarang tumindhak kang dumadi (yakin marang peparing kodrating Allah SWT), serta tetap diberi kesempatan untuk melihat tahun baru dan pesta terompet, entah kita jadi pelakunya, saksinya atau korbannya.


Penulis Hadi Sutarno bergiat dalam Komunitas Sastra Honocoroko Kediri, dan Komunitas Sastra Jagad Jombang.Tinggal di Jombang, sebagai baby sitter. Alamat Wersah Gg. 8, Jombang.
No Hp 089 93 515 611.