Selasa, 11 Januari 2011

" Njaran "

Njaran1
“Dapatkah kau teruskan pekerjaan bapakmu?”
“Yang mana pak?”
“Yang mana menurutmu layak diperjuangkan?”
Bapak memalingkan muka kearah timur, tepat dikanan pundaknya, jidatnya ditempelkan pada kaca yang tertutup rapat, seolah mencari matahari yang akan terbit dari balik rimbunan siluet batang bambu. Aku menatap batang lehernya yang mengkerut kulitnya, terlihat tulang tengkuknya. Kuarahkan pandangan keatasnya lagi, dari beningnya kaca padang mbulan2 menampakkan kalangan3 nya. Menyejukkan sekali mataku, cahaya terang menyirami batang – batang jagung muda, berumur empat puluh lima hari yang terhampar seluas lima hektar di samping rumah. Sedikit aneh dari pandangan mataku, bulan purnama sekarang, menyembul dari ubun – ubun bapak.
Aku nyalakan sebatang rokok khas lintingan4 bapak, tinggal beberapa batang saja tak akan cukup untuk jagongan5 semalam suntuk.
Bapak…bapak, ada…ada saja. Tak merasa rindukah padaku yang baru masuk rumah selama empat jam. Jantungku belum sepenuhnya meraskan kesejukkan angin desa. Kiranya apa untungnya aku menjawab pertanyaan itu., toh aku merasa sudah mampu menghidupi mulutku sendiri, bahkan sudah empat kalinya kedatangan ku sekarang ini hanya untuk mengajaknya lagi melihat kemegahan padang Arofah dan saksi bisu bukit Sofa – Marwa ketika Adam dan Hawa memperjuangkan diri dari kepunahan. Kemudian lahirlah aku, tapi bapak – ibuku dipertemukan dalam program pemerataan penduduk di zaman presiden ke dua negara ini. Rokok yang berat dihisap, membuat lidahku gatal, sedikit rasa takdim bahwa rokok hasil karya bapakku, aku menahan rasa sakit yang teramat sakit disertai nyeri di dada kiriku, spontan hampir batuk ketika itu juga bapak berjalan ke sebelah barat tangannnya menekan tombol power radio, suara langgam jawa dan campur sari meledak dari speaker, ku buka mulutku hendak batuk yang tak tertahan lagi, bapak menolehku, menetap tanpa air muka, sejenak kata – kata yang keluar dari mulutnya memukulku, batuk tak jadi, tersiksa malu aku.
Pada usia tujuh tahun aku dapat merasakan surga ada ditelapak kaki ibu. Ditahun – tahun selanjutnya surga ada di telapak kaki bapak. Kebiasaan yang sulit bapak rubah adalah kekolotannya terhadapku, di mata bapak aku masih bocah yang apapun kebutuhanku harus sesuai keinginan bapak. Itulah yang membuatku tidak enak tinggal di rumah joglo hasil keringatnya. Dan lebih memilih membiarkan bapak dalam kesendirian bapak merawat rumah.
Pak, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku saat ini. Cuti yang ku ambil hanya tujuh puluh dua jam di negara ini.
Channel radio di pindah bapak, irama musik menyedot kesunyian dan isi dalam tulang rusuknya, seakan tak perduli tentang pendapatku.
“Berapa lama kamu tidak melihat jaranan?”
“Sebelum aku menjadi tukang sapu di Negara paman sam!”
“Berapa tahun?”
“Lebih dari delapan belas tahun yang lalu”.
“Kalau begitu lihat ini”.
Bapak mematikan radio, berpindah tempat kearah berlawanan menghidupkan cd player, memasukkan cd dan menekan power televisi. Dalam layar monitor muncul turonggo budoyo, rakaman ala kadarnya menjadikan gambar – gambar yang muncul pun tak maksimal. Mataku panas terkena asap rokok. Suara kendang menusuk telinga, terompetnya seperti menjahit gendangku. Sudah lama pertunjukkan ini tak kulihat di tempatku bekerja video – video pertunjukkan jauh lebih hidup penyajiannya, lebih canggih dan iramanya sangat pas di telingaku yang ada di kepala, kampungan itu.
Ha,..ha..,ha.. bapak ada di rekaman video itu, terlihat masih agak muda meskipun gambarnya terlihat seperti video dokumentasi zaman perang, jadul banget.
Bapak melihatku meringis, diambilnya sisa rokok yang hanya sebatang. Di sulutnya, suara meledak dari rokok lintingannya sendiri, ada pijaran api seperti tungku masak tukang besi,bapak begitu menikmati sensasinya, di tiap hempasan asap kelabu. Kumisnya yang tebal tak dirapikan dan tubuhnya gagah, senyumnya sangat berwibawa seperti panglima perang, namun aku tak mewarisinya. Aku lebih mirip ibuku, kurus, tinggi berwajah lonjong.
“Lihatlah tukang sapu!”
“Aku berhasil naik kuda.”
“Pak aku lebih dari itu. kuda asli yang kunaiki, menjelajah hutan rimba di Misissippi lebih menegangkan.”
“Itu katamu. Ini kuda warisan leluhurmu, umurnya lebih panjang dari usia bapakmu ini, bahkan jauh lebih tua dari umur kakek buyutmu!”
“Apa hebatnya pak, hanya rajutan bambu saja yang di cat. Dulu aku pernah menyewa kuda hitam Mesir yang terkenal kekuatannya, aku tunggangi sehari semalam menyusuri bukit batu dan padang pasir. Hingga di stop petugas kuda di larang masuk di jalur bus way yaitu jalan menuju patung spinx”.
“Delapan belas tahun, yah waktu yang cukup lama membuatmu menjadi bangsa lain. Tapi bapakmu tak akan bergeming sepertimu. Dasar tukang sapu”.
Bapak terlihat sangat marah menetapku tajam, melihat mataku ada gelombang merambat dari pancaran matanya menerjuni otakku dan yang ada dalam hatiku. Aku tak mengerti hal aneh itu, tetapi betapapun bapak marah setalah itu tak perduli lagi dan aku akan mengulanginya lagi, pasti agar bapak tak diam saja otaknya dan aku membuat masalah, selanjutnya yang lebih menegangkan. Aku akan berusaha menjadi mahkluk trasparan saat bapak memarahiku hingga bapak tak menemukan apapun yang ada dalam tubuhku, entah itu tinja atau darah.
“Pak, aku di sana tidak menyapu jalan, atau jadi tukang kebun. Di luar negeri, semua sudah menggunakan perlatan canggih, apalagi kerjaku di dalam ruangan, jadi menyapu cukup memakai mesin penyedot debu. Ruangan yang ku sapu adalah kampus terkenal pak. Tak cukup menjadi tukang sapu saja pak, aku mendapat kesempatan ikut kuliah jurusan pengeboran minyak bumi. Apa mungkin aku mampu menaaikan haji bapak sampai beberapa kali dan semua kelas vip”.
“Jadi mentang – mentang kamu dapat ilmu dari luar, dapat duit banyak, kwalat kamu nanti. Kamu ndak ngerti uang yang kamu kirim itu semua ada di bank sana, tidak bapak gunakan serupiah pun, bapak ini masih banyak tanggapan kayak yang kamu tonton tadi. Itulah caraku melupakan rinduku padamu, menjadi penari jaranan belasan tahun yang akhirnya aku menjadi seoarang pelatih tari jaranan. Kamu lihat di depan rumah ini, di halaman stiap bulan tujuh kali di penuhi anak – anak belajar menari jaranan.
“Lalu…”
“itukah hasil belajar di luar negeri. Kamu tidak pernah di ajari sejarah negara asalmu, pantas kamu memuja negara tempatmu sekolah. Dan kamu sudah menjadi turis saat kembali ke rumah ini”.
“Pak tugas yang ku kerjakan lebih berat dari bapak, di daerah Irak aku di tugaskan mengebor sumber minyak, sedang disana terjadi perang. Nyawa, nyawa taruhannya pak”.
“Tapi kamu lupa asalmu, yang terlihat hanya uang di matamu. Bapak minta kamu tidak usah lagi kembali lagi ke luar negeri, jadi tki. Mulai besok kamu mencari bamboo di ujung sawah itu”.
Aku tak menjawab bapak yang aku kira bicara ngelantur. Aku menyulut rokok baru yang ku siapkan dari luar negeri kemarin, ada hal aneh menusuk langit – langit lidahku, mantap rasanya.
“Besok buat setelah mencari bambu, bapak aajri kamu membuat jaranan. Dan sorenya kamu harus ikut latihan anak – anak muda desa ini latihan menari di halaman depan”.
Aku tak menjawab bapak, aku melihat ke luar jendela, ladang jagung sangat gelap sekali, semua tampak siluet, alunan musik jaranan membuat kupingku terasa penuh beban. Aku keluar rumah, mengirup angin segar, melihat ladang jagung sangat luas, keluar lewat lubang jendela aroma mistik setelah terompet jaranan melengking lewat telingaku, merinding bulu kudukku. Bau wangi kemenyen baru saja mnyebar seluruh ruangan dan keluar rumah, bapak membakarnya sambil bersila, sambil menoleh kearahku, terlihat dari kaca jendela, berkata lembut, dalam diri manusia ada sifat jaran6 le7, kamu harus menaklukkannya,

Wongwingking
Sanggar Sinau Lentera,
Aktif dalam Komunitas Teater Sanggar Seni Mentari Indonesia
Medeleg- Tampingmojo Jombang

1. Sedang menaiki kuda lumping
2. Bulan terang benderang
3. Lingkaran cahaya yang ada di sekitar bulan
4. Rokok yang di kerjakan manual
5. Duduk –duduk bersama
6. Kuda
7. Le = Nak

Senin, 25 Januari 2010

मुमेत aku

तम्बह aneh

Jabbar Abdullah
Jabbar Abdullah ... Dokumentasi ini saya copy dari komputernya saudara Fahrudin Nasrulloh (pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang). Fahrudin mendapatkan video ini dari saudara Hadi (Universitas Darul Ulum Jombang). Dalam video ini, Pak Max, panggilan akrab Max Arifin, yang juga seorang kritikus teater ini membacakan puisi Hamid Jabbar yang berjudul "Indonesiaku".
Max Arifin Baca PuisiMax Arifin Baca Puisi
Durasi: 11:21
20 Januari jam 16:45 · Komentari · SukaTidak Suka · Lihat 23 KomentarSembunyikan Komentar (23) · Bagikan
Nurel Javissyarqi dan 7 orang lainnya menyukai ini.
Arieyoko Ksmb
Arieyoko Ksmb
??????
Sab pukul 12:25
Wong Wingking
Wong Wingking
kok ngabari aku to muat iki?
12 jam yang lalu ·
Tulis komentar...
Kiriman Terdahulu
Lihat Semua Kiriman Oleh Teman
Semua Hasil
Orang
Halaman
Grup
Aplikasi
Acara
Hasil Web
Kiriman dari Teman
Kiriman dari...

aneh

http://vthumb.ak.fbcdn.net/vthumb-ak-sf2p/v10822/2/58/1020385855/t1020385855_1280729971260_270.jpg

Selasa, 29 Desember 2009

uforia trompet

UFORIA TEROMPET
Oleh: Pu Hadikusumo

Beberapa hari si seluruh dunia akan merayakan pesta besar-besaran. Sebuah waktu perpindahan tahun, adakah moment yang berharga lebih selain ini? Tetapi apa perlu dirayakan? Jawabnya ya tergantung manusianya.
Begini, sedikit berkhayal yank karena saya suka sekali khayalan. Dari perbedaan yang muncul di alam mini, semuanya tahu andai jam, menit, detik di seluruh permukaan bumi ini sama, kira-kira apa jadinya kalau pada pukul 00.00 atau (24.00), seluruh manusia yang ikut pesta pergantian tahun bersama-sama meniup terompetnya? Ketakutan khayali saya bisa-bisa akan melengserkan jabatan Isrofil Si Peniup terompet,dan mungkin dapat menyaingi kedahysatan film 2012.
Betapa indah dan menakjubkan perbedaan itu. Sangat mengaharukan pula jika perbedaan dapat di satu rumahkan atau dalam arti menekankan penilaian yang obyektif tidak subyektif yang condong akan ke-aku-an (ego). Tetapi hal seperti itu sangat-sangat sulit apalagi, seperti saya ini yang tergolong awam dan dangkal pengetahuannya tentang subyektif dan obyektif, lebih-lebih soal ke-aku-an yang katanya mendekati egoisme dan egosntrisme terhadap cara pandang soal perbedaan. “Orang boleh beda pendapat tapi tidak boleh sama pendapatannya” kata teman saya suatu ketika. Dan menjadi bahan renungan saya sampai saat ini.
Beruntung sekali kita hidup di dunia, di bum ini. Dimana-mana bertebaran perbedaan sebagai ranah untuk memecah batu otak dan batu hati dalam diri kita. Supaya memahami sekian banyak perbedaan di permukaan bumi ini. Tetapi tetap selaras dan seimbang alam kosmis ini. Salah satu contohnya adalah perbedaan siang dan malam dimana dapat diketahui ada terang dan gelap sekaligus sebagai pertanda perubahan waktu, sehingga dengan kreatifitasnya, manusia mampu menciptakan penanda waktu: jam sebagai ukuran waktu dalam sehari semalam. Kedua dalam geografi ditemukannya garis lintang dan garis bujur untuk mengukur selisih waktu antar wilayah. Dan begitulah Allah SWT memberikan “perbedaan” kepada alam agar di cerna para penghuninya. Tetapi kita harus bersyukur lagi, dan lagi, perbedaan yang diberikan pencipta kepada penghuni alam meskipun, apapun, dan bagaimanapun tingkah polah penghuni alam itu.
Kembali pada perbedaan dan terompet, dan agenda besar yang sudah I rancang oleh para kawula-kawula muda tentunya, dengan gejolak mudanya sudah tentu akan melewati pergantian tahun dengan sebuah pesta atau semacamnya. Namun ternyata tidak kawula muda saja, kalangan tua, anak-anak juga terhipnotis untuk berpartisipasi, tidak mau ketinggalan dalam moment akbar itu. Lha maklum, adanya cuman sekali setahun, kan wajar to kalu ikut-ikutan, melepaskan tahun lalu dan menyambut tahun baru 2010.
Memang sepertinya ada semacam undangan tidak tertulis yang di sebarkan di otak setiap manusia untuk menghadiri pesta tahun baru. Semuanya dicicil persiapannya ; uang di tabung, hotel di booking dan sampai menu apa yang mengiringi perpisahan akhir tahun. Betapa sukarianya.

Pesta terompet.
Kira-kira awal bulan lalu tetangga saya sudah mempersiapkan beberapa bahan untuk membuat terompet, “katanya lumayan Pak penghasilannya, walaupun hanya setahun sekali,” bagi saya maklum pekerjaan tetangga saya pedagang kaki lima. Kadang sedikit saya merasa geli, ketika menerima tawaran tetangga saya, begini “Bapak juga mau?, kesempatan, untungnya besar lho Pak?, begitu polos dan jujurnya tetangga saya itu. Kontan saja saya jawab ”sebenarnya saya mau Pak, berhubung status pekerjaan saya sebagai pengajar, saya malu, kan gengsi masak ada guru jualan terompet”. Alasan saya waktu itu. Tapi setelah beberapa hari saya piker cukup menarik, gaji guru berapa sih.
Pada tanggal 31 nanti suasana tahun baru begitu terasa auranya, dijalan-jalan raya semakin banyak berjejer penjual terompet. Harganya juga muacem-muacem dong tergantung statusnya pula, kan terlihat dalem kagak kantongn itu. Itulah bazaar terompet terbesar, aneka warna dab jenusnya sangat memikat sekali. Ada yang ditiup, ada yang pakai angin alias tak perlu ditiup, pastinya setelah tahun baruan mulutnya tidak meniren. Bahkan yang paling murah adalah membunyikan klakson kendaraan asal tidak rusak saja.
Ritual Terompet
Keponakan saya yang masih duduk di sekolah dasar setelah bangun dari tidur serta merta merengek minta “Om, nanti pulang sekolah beli terompet ya”. Kaget sekali juga mendengar atas permintaan keponakan saya, karena dimanapun tanggal tua adalah pacekliknya pegawai-pegawai, namun saya sedikit tenang ada simpanan sedikit. Tetapi yang menjadi tanda tanya adalah sebab apa keponakan saya itu yang baru melek, belum pipis dan belum cuci muka, bahkan masih diatas kasur sudah minta dibelikan terompet. Inilah suatu fenomena yang ironis sekali. Kadang juga bingung, bisa begitu dahsyat efek dari perayaan tahun baru.
Akhir dan awal tahun yang dipenuhi warna. Pesta kembang api, meriah dimana-mana, mengiringi awal tahun dan melempar jauh-jauh tahun lama. Sirine di bunyikan tepat pukul 00.00 (24.00), kemudian mulailah genderang kemeriahan awal tahun. Sesuatu yang janmo tanpo kiniro, ramai dan riuhnya. Menakjubkan. Katakan inilah surprise kita untuk melepas lelah dari belenggu masalalu atau kata Rendra dalam Sajak Seorang Tua Untuk Istrinya “lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna….melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda. Dan kuranglah pula bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita…”
Gemuruhnya tahun baru membuat saya sedikit kena migren. Habis gimana, dimana-mana ada pesta dan sedikit-sedikit suara terompet mengiang di telinga, tet, tet, tet. Memang saya tidak bisa menyalahkan dengan serta-merta karena saya sadar betul, coro Jawanya “sekabehane tumindhak kudu di wiwiti soko prentuling ati (niyat)”. Dan itu jelas merayakan pesta tahun baru dengan tet, tet, tetnya itu sudah di niati. Itulah kebebasan kretifitas.
Sejauh ini ada yang perlu diputar ulang dalam rekaman otak saya, apakah dengan berpesta dan meniup terompet akan mengubah diri kita dalam 365 mendatang (1 tahun)?, bukankah saat itu adalah saatnya memikirkan diri kita di muka bumi ini. Mengaca apa saja yang di karuniakan Sang Pencipta secara cuma-cuma ini kepada kita, sudah di fungsikan secara pas atau malah sedikit terlena oleh beberapa hal yang semakin memupuk kesombongan dalam hati kita. Dan saya harus tetap minum obat sakit kepala sesekali tersenyum karena suatu senyuman adalah ibadah, terhadap fenomena terompet di tahun baru.
Semoga senyum saya tidak seperti sajak Rendra “kita tersenyum bukanlah bersandiwara. Bukan karena senyuman adalah suatu kedok.. Tetapi saya ingin tersenyum- karena senyuman adalah suatu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, nasib dan kehidupan”. Dan yakin marang samubarang tumindhak kang dumadi (yakin marang peparing kodrating Allah SWT), serta tetap diberi kesempatan untuk melihat tahun baru dan pesta terompet, entah kita jadi pelakunya, saksinya atau korbannya.


Penulis Hadi Sutarno bergiat dalam Komunitas Sastra Honocoroko Kediri, dan Komunitas Sastra Jagad Jombang.Tinggal di Jombang, sebagai baby sitter. Alamat Wersah Gg. 8, Jombang.
No Hp 089 93 515 611.